Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Menuai Penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil

Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

JAKARTA, HOTNEWSIDN.COM – Rencana pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan untuk menyusun kembali narasi resmi sejarah Indonesia mendapat penolakan tegas dari Koalisi Masyarakat Sipil, khususnya Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Penolakan ini disampaikan langsung oleh Ketua AKSI, Marzuki Darusman, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI pada Senin, 19 Mei 2025.

Marzuki menyatakan bahwa AKSI dengan tegas menolak proyek penulisan ulang sejarah yang dinilai akan menciptakan tafsir tunggal terhadap perjalanan sejarah bangsa. Menurutnya, pendekatan ini berpotensi menimbulkan rekayasa sejarah yang sarat kepentingan politis.

“Proyek ini berpotensi menghadirkan konstruksi sejarah yang tidak plural dan mengabaikan keberagaman perspektif. Tafsir tunggal atas sejarah, jika dijadikan dokumen resmi, justru akan menghapus dinamika pemikiran kritis dalam masyarakat,” ujarnya.

Ia menambahkan, pembuatan versi tunggal sejarah secara terstruktur berisiko menjadi alat legitimasi politik pemerintah, seolah-olah pemerintah mendapat mandat eksklusif untuk menafsirkan masa lalu bangsa.

BACA JUGA : Jokowi Hadiri Pemeriksaan di Bareskrim, Dikawal Ketat Paspampres
BACA JUGA : Penyelidik KPK Sebut Hasto Kristiyanto Diduga Jadi Dalang dalam Kasus Suap PAW

Dalam Manifesto yang dibacakan oleh AKSI di hadapan Komisi X, mereka menyoroti beberapa poin penting:

  1. Penolakan terhadap rekayasa sejarah: Rencana Kementerian Kebudayaan dinilai sebagai bentuk upaya sistematis untuk menyusun narasi masa lalu yang sesuai dengan visi politik tertentu, bukan berdasarkan fakta sejarah yang beragam.

  2. Monopoli kebenaran sejarah oleh negara: Pemerintah dianggap hendak menetapkan batasan normatif atas pandangan, pemikiran, dan ekspresi masyarakat yang harus selaras dengan narasi sejarah versi resmi. Ini dinilai sebagai bentuk kontrol ideologis terhadap rakyat.

  3. Kekhawatiran terhadap kecenderungan otoritarian: AKSI menilai langkah ini bisa membuka jalan bagi pola pemerintahan yang otoriter atau bahkan totaliter dalam bidang pengetahuan sejarah dan budaya.

  4. Pengkhianatan terhadap prinsip kerakyatan: Penulisan ulang sejarah oleh negara dianggap mengingkari peran rakyat dalam membentuk sejarah itu sendiri. Pemerintah dinilai tidak berhak menjadi satu-satunya penafsir masa lalu bangsa.

  5. Risiko penghilangan memori kolektif: Menurut AKSI, pengalaman sejarah rakyat—terutama mereka yang menjadi korban kebijakan politik masa lalu—harus tetap diakui sebagai bagian penting dari narasi sejarah nasional.

AKSI juga menegaskan bahwa pengalaman sejarah Indonesia telah menjadi pelajaran penting bagi dunia. Sejarah bangsa tidak boleh disederhanakan menjadi alat untuk memuliakan kekuasaan.

“Setiap upaya untuk menulis ulang sejarah secara sepihak, apalagi menjadikannya narasi tunggal, harus dihentikan. Sejarah adalah milik bersama, bukan milik kekuasaan,” tegas Marzuki menutup pernyataannya.

Koalisi ini menyerukan agar penulisan sejarah Indonesia dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan demokratis, dengan melibatkan beragam perspektif dari seluruh lapisan masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *