JAKARTA, HOTNEWSIDN.COM – Skandal keuangan besar kembali mengguncang dunia bisnis Tanah Air. Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk, Iwan Setiawan Lukminto, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi setelah diduga menyalahgunakan dana kredit bank sebesar Rp692,9 miliar.
Alih-alih digunakan untuk mendukung operasional perusahaan seperti dalam perjanjian kredit, dana ratusan miliar tersebut justru dialihkan untuk kepentingan pribadi, termasuk membayar utang perusahaan kepada pihak ketiga dan membeli sejumlah aset tak produktif berupa tanah di berbagai wilayah.
Modus Penyimpangan Dana: Kredit Dijadikan Alat Manipulasi
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa pinjaman tersebut seharusnya diperuntukkan bagi modal kerja PT Sritex, namun hasil penyidikan mengungkap kenyataan sebaliknya.
“Pinjaman itu bukan digunakan untuk keperluan usaha seperti tertuang dalam akad kredit. Sebaliknya, uang itu dipakai untuk melunasi utang dan membeli aset tetap yang tidak sesuai fungsi,” tegas Qohar saat memberikan keterangan di Gedung Kejaksaan Agung pada Rabu, 21 Mei 2025.
Pembelian Aset Tak Produktif: Investasi atau Pelarian?
Salah satu penggunaan dana yang paling disorot adalah pembelian tanah di sejumlah daerah, termasuk Yogyakarta dan Solo. Aset-aset tersebut dianggap tidak mendukung kegiatan operasional perusahaan dan menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini strategi investasi pribadi atau bentuk pengalihan dana terstruktur?
Tak Sendiri: Tiga Nama Masuk Jerat Hukum
Selain Iwan Setiawan Lukminto, penyidik juga menetapkan dua pihak lain sebagai tersangka:
-
Zainuddin Mappa, Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah (BUMD) Jakarta tahun 2020
-
Dicky Syahbandinata, mantan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BUMD
Keterlibatan keduanya diduga kuat terkait dengan proses persetujuan dan pencairan kredit yang tidak sesuai prosedur dan mengandung unsur persekongkolan internal.
BACA JUGA : Kilang Pertamina Internasional Dorong Kemandirian Energi Nasional
BACA JUGA : Menjelang Idul Adha, Bapanas Jamin Ketersediaan dan Harga Pangan Tetap Stabil hingga Akhir Tahun
Pasal Berat Menanti: Jeratan UU Antikorupsi
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman hukuman tidak main-main, karena Pasal 2 UU Tipikor dapat menjerat pelaku dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup, serta denda hingga Rp1 miliar.
Ditetapkan Tersangka, Langsung Ditahan
Sebagai bagian dari proses hukum, ketiga tersangka langsung ditahan selama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Langkah cepat ini diambil untuk menghindari potensi penghilangan barang bukti maupun upaya melarikan diri.
Reaksi Publik dan Dampaknya pada Sritex
Kabar penahanan Iwan Lukminto langsung menyita perhatian publik dan pelaku pasar. Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, Sritex dikenal memiliki portofolio ekspor yang luas dan menjadi pemasok berbagai kebutuhan tekstil hingga seragam militer.
Dugaan penyimpangan dana dalam jumlah masif ini berpotensi memengaruhi kepercayaan investor, kreditor, serta seluruh pemangku kepentingan. Jika tidak dikelola dengan baik, kasus ini bisa berdampak jangka panjang terhadap performa bisnis perusahaan.
Pertanyaan Besar: Di Mana Fungsi Pengawasan?
Kasus ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana bisa dana sebesar hampir Rp700 miliar dicairkan tanpa penggunaan yang sesuai prosedur? Apakah pengawasan internal dan eksternal di sektor perbankan dan korporasi sudah benar-benar berfungsi?
Penutup: Skandal Besar, Pelajaran Lebih Besar
Skandal ini bukan sekadar masalah hukum, tapi juga menyangkut integritas tata kelola perusahaan, pengawasan lembaga keuangan, dan akuntabilitas pejabat korporat. Publik kini menanti kejelasan proses hukum dan sanksi yang adil.
Bagi sektor bisnis nasional, ini menjadi peringatan bahwa penyimpangan dana bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga bom waktu yang bisa menghancurkan reputasi korporasi dalam sekejap.